cerpen berserta unsur intrinsiknya
Indahnya Persahabatan
Betapa
enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena
semua tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah
selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.
Meskipun
demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah.
Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas yang
datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan
banyak yang betah kalau main di rumah Tyas.
Tyas
sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu kelurahan
dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Dwi tidak main
ke rumah Tyas.
“Ke
mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen.
Selalu datang.”
“Mungkin
sakit!” jawab Mama.
“Ih,
iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!”
katanya bersemangat
Sudah
tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka.
Kemudian Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan
bahwa Dwi sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar,
bapak Dwi di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja.
Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa
melanjutkan sekolah lagi.
“Oh,
kasihan Dwi,” ucapnya dalam hati,
Di
rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang
sekolah ia selalu murung.
“Ada
apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah
selalu tegar dan ceria!” Papa menegur
“Dwi,
Pa.”
“Memangnya
kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Tyas menggeleng.
“Lantas!”
Papa penasaran ingin tahu.
“Dwi
sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke
desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa
menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Tyas.
“Kalau
Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.
“Lalu
apa rencana kamu?”
“Aku
harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Saya
ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku!” Tyas memohon dengan agak
mendesak.
“Baiklah
kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu!” kata Papa.
Dua
hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia merasa
senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak
keluarga Dwi. Kemudian Tyas bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya
masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer.
Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi
ketika bertemu dengan Tyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa
rindu. Semula Dwi agak kaget dengan kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia
tidak memberi tahu lebih dulu kalau Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.
“Sorry,
ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”
“Ah,
tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa
kembali!”
Setelah
omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua
Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan
kepada Dwi sendiri.
“Begini,
Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Surabaya.
Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi, apakah
kamu mau?” Tanya Papa.
“Soal
sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan
kamu saya yang akan menanggung.”
“Baiklah
kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia. Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu
saya.”
Kemudian
Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak mata Tyas
berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali.
Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal di
rumah Tyas. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah,
mereka juga merawat nenek Dwi yang sudah tua.
Unsur
Instrinsik :
•
Tema : Persahabatan
•
Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan Mama Tyas
•
Watak :
·
Tyas
: Suka Menolong
·
Dwi
: Tidak Mau Membebani Orang Lain
·
Papa
Tyas : Baik Hati
·
Mama
Tyas : Peduli
•
Alur : Maju
•
Latar :
Tempat
·
Rumah
Dwi (Lama)
·
Rumah
Tyas
·
Rumah
Dwi (Di Desa).
Waktu
·
Siang
Hari
Suasana
: Mengharukan
•
Sudut pandang : Orang Pertama
•
Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan Berbagi
kepada sesama
TAKDIR
Gerimis tak berhenti juga, ditambah
dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi tak keluar-keluar dari
kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah menunjukkan pukul
17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.
Tari kembali melirik buku bututnya.
Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi buku yang dibacanya dari tadi
belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia selonjoran di kasur bunga
mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya. Ditariknya foto tu dari
dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!
Ia sekejap langsung menyembunyikan
benda kenangannya dengan Audra itu di dompetnya. “Bodohnya aku!” Cewek berambut
panjang hitam itu mengeluh, namun penyesalan yang menginjak-nginjak batinnya
nggak pergi-pergi juga. “Iih”, Tari menggumam. “Kenapa aku dulu
menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang bersyukur? Atau, dia yang terlalu
seperti anak kecil?”
Kenangan itu masih tertempel di otak
Tari, saat sosok yang dikenangnya itu memberikan surat kepadanya. Surat yang
isinya mengajak Tari putus dengannya. Memang sosok Audra yang seperti anak
kecil, pemalu, pintar, berkulit cokelat, wajahnya yang bersih, dan bertubuh
tinggi itu bukan termasuk tipe Tari. Tapi ia sulit untuk memutuskan putus atau
tidak pada saat itu. Selama ini semenjak putus dengan Audra, ia sering
berkhayal, berkhayal seandainya ia bisa lebih berpikir dewasa lagi. Namun yang
sudah terjadi tidak bisa kembali lagi.
Daripada ia teringat dengan
kekerasan bapaknya, ia mending terlintas kenangannya dengan Audra.:”Plak!!”
Batin Tari tergoncang, tamparan bapaknya ke bundanya itu sampai menggerakkan
gendang telinganya.” Bapak, Bapak! Cukup!” Tari berlari menangis. Tak heran
kalau Tari terkadang berdiam diri di kelasnya. Wajah gelisahnya membuat dirinya
penuh dengan misteri. Tapi sesungguhnya ia termasuk perempuan sabar dan kuat
karena ia dapat bertahan dengan kondisin keluarga seperti itu.
Tet tet tet! Bunyi bel sekolah Tari
berdenting, yang menandakan jam istirahat telah usai. Namun Tari masih tetap
duduk terenung di bangkunya sampai Yanti sobatnya itu membangunkannya dari
lamunannya.
“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
Tapi dengan kelucuan sahabatnya itu,
akhirnya Tari dapat tersenyum yang sejak kemarin ia terus menangis dan bersedih
karena bapaknya itu menampar bundanya yang tak sengaja mengingatkan bapaknya
untuk tidak merokok dan pulang malam. Yan, aku tuh udah putus dengannya! Tari
menyela sobatnya denan menahan ketawa sebab melihat wajah Yanti yang
berekspresi kayak “Aming” komedian itu.
Tentu saja Tari nggak akan
mengatakan ke Yanti kalau ia sedang sedih dan menangisi takdirnya. Batas
bercerita tetap ada. Dan Tari tak ingin sobatnya itu bersedih lantaran
kehidupannya yang menyedihkan.
Dan siang itu meskipun Tari
mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia, tapi pikirannya masih melayang
kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi kekasihku! pasti masalahku akan
reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya nasibku. Eiiiiihh!! Teriakannya
membuat sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal dari Bejo yang menepuk bahu Tari.
“Tar, hihihihi, ngelamun aja,
kesambet lo entar!” Bejo pura-pura tak ngerti kesalahannya. Padahal gara-gara
dia Tari dipanggil ke depan oleh Bu Tartik, guru paling killer di sekolah.
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
Semua teman Tari tertawa sambil
menahan ketawa karena tak ingin Bu Tartik mendengar ketawa mereka, namun tidak
dengan Yanti dan Audra. Mereka terlihat sedang berpikir sesuatu.
“Ono opo ya ma Tari ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
Teman sebangku Yanti dan yang tak
lain adalah Audra mencetuskan kata-kata seperti itu. Dan membuat Yanti terkejut
dan berpikir apa sebenarnya mereka berdua masih saling suka.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
“Tariiiii, kamu itu! Kalau kamu
tidak ingin mengikuti pelajaran saya. Kamu jangan menganggu pelajaran Ibu!”
muka Tari yang memerah membuat dirinya tampak habis makan 100 cabe merah
keriting yang biasa dilihatnya di dapur ketika ia memasak dengan bundanya.
Tet tet tet tet tet tet…………
Tet tet tet tet tet tet…………
Untung penderitaan Tari berhenti
juga, bel sekolah yang memengakkan telinga itu menyelamatkan hidupnya hari ini.
Tak hanya Tari, teman-temannya juga terselamatkan. Karena mereka ingin sekali
tak mengikuti pelajaran ini. Tapi begitu melihat Bu Tartik, akhirnya mereka
mengikutinya.
“Duduk kamu! Ketua kelas pimpin
doa!”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
Oh My God, Audra! Tari yang semula
cemberut langsung bersinar-sinar ketika Audra menghampiri dan perhatian kepadanya.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
Jam 7 malam …………
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
“Kamu bisa tunangan dulu dan setelah
lulus dari kuliah, kamu baru menikah dengannya!”
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
“Sabar ya anakku, Bunda selalu
disini menemanimu.” Mereka menangis berdua. Keesokan harinya Tari tak masuk
sekolah karena untuk masuk, ia terlalu capek. Capek menangis semalaman. Ini
merupakan takdir atau hanya kebetulan saja, Audra juga tak masuk. Entah apa
alasannya. Di sebuah rumah di jalan araya itu, ada perbincangan antar keluarga.
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore nanti!”
“Pa!!!”
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore nanti!”
“Pa!!!”
Jam di kamar Tari sudah menunjukkan
pukul 15.00 dan sebentar lagi ia akan dilamar. Bun! Aku nggak mau pake kebaya
ini, ia melempar kebaya berwarna putih jika dipakenya akan pas di badannya yang
ramping itu. Bunda, aku mau dengan perjodohan ini hanya karena agar Bunda tak
disakiti Bapak! Tari memperjelas alasannya kepada Bundanya. Mendadak sebuah
sedan hijau masuk pelan ke halaman rumah Tari dan berhenti tepat di depan
teras. Bapak menyambut keluarga itu. Namun ada yang aneh, anak laki-laki dari
keluarga itu terlihat murung dan malas sama seperti Tari. Selamat datang!
Silahkan masuk. Bapak mempersilahkan mereka masuk.
Dibantu dengan bunda, ia segera
memakai sepatu highheels warna putih mengkilat itu dengan buru-buru. Meskipun
terpaksa, Tari akhirnya keluar dan menemui keluarga pelamarnya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran dengannya.
“Ya benar, aku Audra!” Dia memang
Audra, mantanku. Oh, takdir macam apakah ini? Secara reflek, Tari langsung memeluk
Audra dan ……………
“Tar,Aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
1.Tema:Percintaandantakdir
2. Amanat :
2. Amanat :
- Dalam menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.
- Jangan melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran
3.AlurCampura
4. Setting :
4. Setting :
·
Kamar
tari pukul 17.15
·
Kelas
sehabis jam istirahat sekolah
5.
Penokohan/perwatakan :
- Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.
- Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu
- Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
- Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
- Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
- Bejo : Usil, medok, nakal
- Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer
- Papa : Egois
6.
Sudut pandang : Orang ketiga
Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.
“Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.
Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.
Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.
Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia harus lebih berhati-hati lagi.
Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka digusur polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.
Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam, sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.
Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme, rakyat negerinya atau para pejabat itu?
Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong kereta api?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.
Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW.
Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari.
Unsur Intrinsik
1.
Tema
|
:
Perjuangan
|
2.
Sudut Pandang
|
:
Orang ketiga
|
3.
Amanat
|
:
Tetaplah sabar dan tetap berjuang sesulit apapun keadaan.
|
4.
Alur
|
:
campuran
Perkenalan
: Seorang lelaki
tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa
Penampilan masalah: bahwa rakyat di negerinya sudah
kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan
rasa cinta terhadap tanah airnya.
Klimaks: Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu
Klimaks
: negeri dimana
kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan
lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang
rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan
sekali sehari.
|
5.
Latar :
|
:Tempat:
kantor balai desa, emperan toko, rumah sakit.
Waktu:
siang hari, jam dua siang.
Suasana:
sedih, mengharukan.
|
6.
Penokohan :
|
Kakek
Tua : pekerja keras, penyabar, ramah.
Istri
: setia, penyabar.
|
LIANG HARIMAU
Gus tf
Sakai
Karena pagi buta, tak ada yang tahu
bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang wartawan, yang mengutip keterangan
polisi, menulis berita begini:
”… Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul
05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita
acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan
karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa
Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang
ia minta.”
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk
kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang sidang. Seperti sidang-sidang lalu,
wajah Sadim masih tampak terheran-heran, celingukan mencari-cari, atau kadang
bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya yang lusuh—terlihat nyaris cokelat
karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang; cara duduknya yang
aneh—membungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang bagai ditampungkan di
pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang menyebut diri urang
Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.Dan memang, sebenarnyalah,
Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.Ia berada pada suatu tempat
dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa urang
Rawayan disebut Liang Maung, terletak di kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan
hutan lindung yang tak boleh dirambah, tetapi entah bagaimana Rasikun bisa
memiliki sebidang tanah sangat luas lalu membuka ladang di sana. Dan Sadim,
yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di kampung-kampung sekitar, pun
menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah empat liter beras perhari,
setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima
pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya hutan yang harus dirambah, tetapi
karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang Rawayan adalah salah satu hutan
yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh nenek moyang. Orang-orang luar
tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya mengenal lokasi itu sebagai
”angker”, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang Harimau adalah tempat ruh nenek
moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah bodas (surga). Tanpa harus
ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang Rawayan yang berani
sembarangan ke—apalagi ”mengganggu” di—Liang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya
memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai tandus dan hasil panennya tak
pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi keluarga, Sadim terpaksa
mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk mendapat tambahan atau
upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampung-kampung luar yang
seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran, kenapa adatnya
tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut orang-orang
kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak membolehkan
mereka bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan itu: tak boleh
merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang terbuat dari
barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali anjing;
dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan….
Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh
di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim
dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang khusus datang ke rumah Rasikun
mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan menggelar upacara Ngasep Serang.
Inilah upacara adat sangat penting, upacara membakar lahan sebelum musim tanam,
yang harus diikuti oleh segenap warga urang Rawayan. Bagi Sadim,
larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat banyak itu—dengan
mencuri-curi—masih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep Serang, bahkan
andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani.
”Ngasep Serang? Upacara apa itu?” tanya
Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur Rawayan, ketika Sadim minta izin tak
berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di hari upacara, karena harus pulang
ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena
memang kurang peduli, atau entah karena Sadim menerangkan dengan banyak kata
dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu
bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara agar tanaman urang Rawayan nantinya
berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal (Tuhan), Rasikun merasa cukup.
Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun tertua, Jaro Tangtu, jaro
pengurus masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun yang mengurus masalah
pertanian, dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah keagamaan dan
upacara-upacara adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari mereka?
”Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah
upacara itu tetap terselenggara?” tanya Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab.
”Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang
Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum musim hujan.”
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke
Liang Harimau dengan hati gundah. Di sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang
kosong. Juga tanah huma yang tandus. Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya
akan membuat tanah dan tanaman marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum,
”Seluruh alam dan isinya bakal melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala
sempat.” Mengincar? Sebelum pulang, senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata
mengawasinya. Saat ia menoleh ke seberang sungai—sungai kecil yang meliuk
mengalir dari pinggang Gunung Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun,
Sadim terkejut: seekor harimau! Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!
Sadim pulang dengan menggigil.
Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si majikan tertawa seraya bilang
tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam binatang buas termasuk
harimau. ”Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan melakukan apa-apa sepanjang
kita juga tak mengganggu mereka,” tambah Rasikun. Tetapi, besoknya, senja juga,
Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana. Menatap, bukan hanya
nanap—tetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu … sungai kecil itu,
tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau itu
mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu
terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan
kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di ruang sidang. Dan seperti
sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah kebingungan, kehilangan
akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung, tak runut, bahkan tak
sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
”Nu maneh tempo harita teh saha (dulu,
yang kau lihat itu siapa),” tanya Kepala Desa Kanekes menerjemahkan pertanyaan
Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk Sadim sekitar pukul 05.00 enam
bulan lalu itu.
”Maung (harimau),” jawab Sadim, lirih ….
Unsur intrinsic :
1. Tema :
2. Sudut Pandang : Orang Ketiga
3. Amanat : -
4. Alur : campuran
klimaks : . Sadim baru bangun tidur dan
tiba-tiba menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi
disebutkan, Sadim kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih
menurut polisi, Sadim, warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu
marah karena Rasikun menolak memberikan upah yang ia minta.”
5 : Latar: Hutan , Rumah Rasikin , ruang
sidang
6.Penokohan: Rasikin : egois ,sombong
Sadim : Jujur
9 Fiction
Saya
mempunyai beberapa teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery , Rifki , Irfan dan
Riki.
Pada
hari Kamis itu kami mendapat tugas dari seorang guru IPA untuk membuat
percobaan tentang Bioteknologi, tetapi kami tidak mengerjakannya pada hari itu!
karna kami mempunyai kesibukan masing-masing jadi kami mengerjakannya pada hari
rabu pulang sekolah minggu depannya dan
itu pun dilaksanakan bersamaan dengan latihan menari.
Pada
awalnya kami akan latihan menari dulu di Sekolah tetapi karna ada teman kami
yang merayakan ulang tahun Rizal(teman satu sekolah kami) jadi kami ikut merayakannya walaupun
sebenarnya kami hanya ingin merasakan kue ulang tahunnya, kebanyakan dari kami
hanya memakan kue dan lupa member ucapan selamat terhadap Rizal. Karna
keasyikan kami lupa untuk latihan menari, jadi kami buru buru pergi ke rumah
Gery untuk berlatih tetapi Afif tidak ikut karna ada urusan.
Sesampainya
dirumah Gery kami beristirahat dulu sejenak sambil menunggu Rifki dan Irfan
yang kalah cepat oleh kami, Gery pun datang dan membawakan seikat pisang dan
sebotol air dingin, Tidak lama Rifki dan Irfan pun datang kami pun menikmati
makanan itu dengan lahap. Pada saat menikamati makanan itu RIfki mendapat
Telepon dari Afif yang ternyata ingin dijemput didepan komplek karna akan ikut kerja kelompok , karna jarak dari
rumah Gery menuju depan komplek jauh jadi kami memutuskan untuk
menjemput Afif dan pergi ke rumah Rifki yang jaraknya agak dekat dari depan
komplek. Pada saat diperjalanan saya hampir jatuh dari motor karna jalannya
yang berlumpur karna terkena air hujan, tetapi karna keahlian saya mengnedarai
motor saya tidak jadi jatuh.
Sesampainya
di rumah Rifki bersama Afif kami pun beristirahat kembali di kamar Rifki yang ada di atas kami pun
bercakap-cakap dan ada seseorang yang bicara kepada RIfki ingin memakan
sesuatu, Tidak lama Rifki pun memanggil Ibunya yang ada di bawah dengan logat
sundanya yang khas” Mah ieu rerencangan hoyong tuang”, Gery pun berkata
“Padahal sakalian jeung fanta-na”, Rifki pun berteriak lagi “Sakalian jeung
Fantana cenah”, Kami pun tertawa karna sebenarnya kami hanya bercanda.
Kami
pun pergi kebawah untuk berlatih ,tidak lama Ibu Rifki dating membawa makanan
,Kami hanya tersenyum malu karna pada walnya kami hanya bercanda. latihan pun
berjalan tidak terlalu baik karna kami tidak hafal gerakannya. tiba tiba hujan
turun ,kami pun kaget karna kami belum mengerjakan tugas Bioteknologi,terutama
Afif karna ia juga harus les, jadi pada saat hujan mereda kami mengantar Afif
untuk les dan lekas pergi ke rumah kenalan Rifki yang mempunyai usaha membuat
Roti rumahan untuk meminta bantuan.
Pada
saat diperjalanan hujan pun turun kembali kami akhirnya berteduh di sebuah
saung yang tidak jauh dari tempat pembuat roti. Rifki dan Irfan memutuskan
untuk pergi ke rumah pembuat roti itu agar tugas cepat selesai jadi saya , Cepy
, Gery dan Riki pun menunggu di saung yang juga adalah tempat ronda,. setelah
beberapa menit Rifki dan Irfan pun keluar menghampiri kami pada saat hujan
gerimis ,kami menyangka semuanya telah selesai ternyata masih ada proses untuk
meng-oven roti,ternyata dirumah itu hanya membuat adonan saja dan nanti akan di
oven di toko kecil yang agak jauh dari tempat itu.kami pun pergi walau hujan
gerimis,pada saat sampai di took Rifki mengusulkan agar roti dibentuk kata kata
9F kami pun setuju ,tetapi Riki mengusulkan kata kata 9Fiction yang artinya 9 Fiksi saya tidak tau mengapa ia ingin kata
kata itu tetapi kami menyetujuinya, karna Rifki takut hujan semakin membesar ia
menyuruh kami untuk pulang dan sisanya ia yang mengerjakan,kami pun menyetujuinya
karna memang langit semakin gelap.
Keesokan
harinya kami menyerahkan roti yang berbentuk 9-FICTION sebagai hasil dari tugas yang diberikan kepada kami.
akhirnya kami mendapat nilai tertinggi dari Guru atas hasil karya kami…..
Unsur intrinsic :
1.Tema : Usaha , Pertemanan
2. Sudut Pandang : orang pertama
3. Amanat : kebersamaan adalah hal yang
paling indah.
4. Alur : maju
perkenalan : Saya mempunyai beberapa
teman sekelas yaitu, Afif , Cepy , Gery , Rifki , Irfan dan Riki.
penampilan masalah :
kami tidak mengerjakannya pada hari itu! karna kami
mempunyai kesibukan masing-masing
Klimaks :
lupa untuk latihan menari, jadi kami buru buru pergi…
anti klimaks :
Sesampainya dirumah Gery kami beristirahat dulu
sejenak sambil menunggu Rifki dan Irfan yang kalah cepat oleh kami
klimaks:
RIfki mendapat Telepon dari Afif yang ternyata ingin
dijemput didepan komplek karna akan ikut
kerja kelompok
anti klimaks:
beristirahat kembali
di kamar Rifki yang ada di atas kami pun bercakap-cakap
penyelsaian :
Keesokan harinya kami menyerahkan roti yang
berbentuk 9-FICTION sebagai hasil
dari tugas yang diberikan kepada kami. akhirnya kami mendapat nilai tertinggi
dari Guru atas hasil karya kami…..
5.
Latar : sekolah , rumah Rifki , Rumah Gery
6. Penokohan :
afif : Baik
Aughy : Baik
Cepy : Baik
Gery : Baik
Irfan : Baik
Rifki : Baik dan Humoris
Riki : Baik
Komentar
Posting Komentar